“Boldly go where no one has gone before…”
Saya rasa siapapun di generasi saya mengetahui tagline Star Trek diatas, sama seperti generasi sebelumnya mengenal Darth Vader dari Star Wars. Sejak kecil saya selalu terkesima dengan bintang-bintang di langit malam dan angkasa luar, namun baru sekarang saya mengerti alasan dibaliknya. Setelah saya fikirkan belakangan ini, yang menjadi magnet sebenarnya adalah sebentuk kerinduan…kerinduan untuk berada di perbatasan terakhir dan memandang ke seberang penuh rasa ingin tahu.
Sekarang saya sadar perbatasan terakhir itu tidak melulu berarti angkasa luar, perbatasan itu ternyata juga dapat berarti batas wilayah yang diterangi cahaya pengetahuan. Ketika seseorang menggali lapisan-lapisan pengetahuan sampai pada pertanyaan yang belum terjawab, ia mengangkat kepalanya dan menyadari keganjilan bahwa tidak seorangpun di muka bumi memiliki jawabannya dan serta merta merasakan antusiasme puluhan orang di berbagai negara yang sedang berlomba mencari jawabannya….
Selama ini saya belajar dengan anggapan bahwa ada lebih banyak pengetahuan, rincian dan detail yang memang bukan (belum) porsi saya untuk dipelajari, saya belajar dengan notion bahwa setiap pertanyaan tentu telah ada jawabannya di berbagai textbook khusus atau jurnal terbaru, namun baru-baru ini saya dipaksa menggali sedalam-dalamnya sampai setiap artikel terbaru tidak lagi bisa memberikan jawaban, mentor saya mengatakan apa yang kita diskusikan belum pernah didiskusikan orang lain di tempat ini, dan sejauh inilah yang baru diketahui komunitas ilmiah.
Pada saat itu seberkas perasaan ganjil menyelinap dalam hati. Inilah saya fikir rasanya berada di perbatasan terakhir dan memandang Terra Incognita ilmu pengetahuan manusia. sejenak kemudian saya menghela nafas mengingat berbagai keterbatasan material yang kita miliki untuk berpacu menjadi yang terdepan
Saya teringat teman saya seorang PPDS bedah saraf menceritakan antusiasme yang dirasakan ketika melakukan prosedur operasi otak eksperimental pada pasien, berusaha menjangkau area dalam otak yang sebelumnya tidak terjangkau pisau bedah dengan menyadari setiap sayatan bisa berarti memotong memori masa kanak-kanak seseorang. Berada di perbatasan itu dengan pisau bedah ditangan menjadi magnet yang membuatnya bertahan belasan jam dikamar operasi.
Itulah juga mungkin yang dirasakan Julius Caesar dan pasukannya saat memandang the white cliff of Dover, dengan kemampuan militer yang tidak tertandingi tidak ada yang bisa menghalanginya memperluas cahaya peradaban yang dibawa pada Legioner. Teman saya dengan pisau bedahnya, Caesar dan pasukannya, Picard dengan USS Enterprise-nya,semua memandang kegelapan dihadapan dengan jiwa petualang dan eksplorasi. Berada di tepian Terra Incognita bersiap dengan material dan mental untuk mengarunginya bagi saya adalah tanda superioritas.
Bukan kebetulan bila Rasulullah saw meminta kita untuk terus menjaga perbatasan negeri-negeri Islam-Ribath, selalu dalam keadaan siap siaga berjihad dan membawa cahaya Islam kemanapun. Pastinya bukan kebetulan juga bila harus selalu ada yang tinggal di belakang untuk mengajar dan berdakwah pada masyarakat, to nurture fresh mind , dan membimbing generasi baru menuju perbatasan ilmu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, menjamin superioritas peradaban.
Jadi kawan bila sebagian besar masyarakat belum terbiasa merasakan sindroma antusiasme perbatasan, sebagai individu dan sebagai ummah, seperti antusiasme rakyat Amerika menanti petualangan Neil Amstrong dan rekan-rekannya, ini berarti masih jauh perjalanan kita menjadi bangsa yang maju dengan peradaban yang superior. keterlaluan rasanya kalau kita sudah berpuas diri menenteng gadget dengan teknologi terbaru, atau mendulang uang dari penggunaan USG 4 dimensi, atau berbangga telah menerapkan protokol ADA terbaru, atau bahkan sekedar berhasil mendapatkan artikel dari PUBMED milik NIH
selamanya menjadi konsumen produk rekayasa ilmu pengetahuan, tanpa mengetahui mekanisme kerja, peluh ratusan peneliti dan berkah kerjasama komunitas ilmiah internasional untuk mewujudkan persepsi kemewahan, kecanggihan,dan berbagai hal yang memudahkan hidup dan kerja kita sehari-hari. tanpa sadar kembali menjadi bangsa jajahan di negeri sendiri karena peperangan tidak lagi di laksanakan di lembah-lembah atau di meja perundingan korporasi dan diplomasi tapi peperangan di langsungkan setiap hari di pusat-pusat penelitian terkemuka
Sungguh hina selamanya hidup dibawah bayang-bayang bangsa lain, bangsa yang demikian memahami kekuatan ilmu pengetahuan hingga pembelaannya untuk mengembalikan kredibilitas salah satu lembaga riset kecil miliknya dapat membuat geger publik di negeri “jajahannya”
2 komentar:
what should we do?
Bahasanya ketinggian, tolong diberi footnote mengenai istilah-istilah latinnya :-)
Semoga para pewaris negeri ini "tersindir" dengan maraknya budaya plagiator dan budaya instan, sekaligus menjadi pemicu dan pemacu untuk berkarya menembus batas-batas dirinya secara pribadi dan batas-batas lingkungannya.
Posting Komentar