Sabtu, 01 Mei 2010

Identitas Kelompok dan Toleransi

Ada satu hal yang menarik saat kita pelajari lebih dekat proses embriogenesis utamanya neurogenesis yaitu adanya konsep Contact Inhibition. Secara in vivo ternyata ketika suatu jenis sel mengalami proliferasi memperbanyak dirinya sendiri sampai suatu saat mengalami kontak dengan sel lain yang juga sedang berproliferasi maka sel pada titik kontak akan berhenti berprolifersi dan mengalami diferensiasi menjadi jenis sel lainnya. Pada situasi in vitro hal ini juga diamati pada proses kultur sel. Pada plate kultur sel akan berproliferasi membentuk koloni-koloni maka ketika koloni ini saling kontak maka peristiwa yang terjadi tergantung pada jenis sel. Bila koloni ini terdiri dari jenis sel yang sama yaitu memiliki jenis MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas I yang sama maka akan terjadi inhibisi perkembangan dengan kata lain mereka hidup bersama-sama, co-exist. bila tenyata koloni ini memiliki MHC yang berbeda maka meski jenis selnya sama mereka akan berusaha saling meniadakan.

Hal ini mirip seperti yang terjadi pada interaksi antigen asing dan antibodi tubuh atau reaksi penolakan host-graft atau penyakit auto-antibodi dimana tubuh mengenali suatu molekul sebagai benda asing karena ekspresi MHC yang berbeda. MHC memberikan suatu identitas unik bagi sel yang membedakan self dan non-self, ini juga berarti identitas unik bagi setiap individu katakanlah seperti suatu single indentity number atau Nomor Induk Pegawai. Kelompok-kelompok homogen dalam masyarakat akan cenderung hidup damai namun adanya imigran asing seperti di negara-negara eropa dapat menyebabkan timbulnya sikap xenophobia.
Xenograft yang dilakukan di laboratorium dimana jaringan asal manusia di transplantsikan pada mencit atau hewan coba lain dengan tujuan tertentu pasti akan menimbulkan reaksi penolakan. Sepertinya hukum ini berlaku universal sesuatu yang berbeda akan cenderung di tolak, lalu bagaimana dengan konsep toleransi yang didengung-dengungkan? Toleransi imunitas dapat terjadi pada sistem biologis terutama ketika daya tahan tubuh menurun atau dengan bantuan supresan dari luar tubuh, kedua hal ini berarti resipien atau masyarakat lokal harus melemah untuk bisa menerima perbedaan. Saya bukan anti toleransi dalam masyarakat, tapi menyatakan fakta bahwa masyarakat yang toleran sejatinya lemah dari sudut pandang kesatuan bangsa. Bangsa yang toleran cenderung mudah disusupi provokator yang membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat atau cenderung permisif terhadap pengaruh budaya asing  atau malah tanpa sadar menempatkan agen asing di posisi-posisi kunci pemerintahan.
Ko-eksistensi ditengah keanekaragaman hanya dapat tercapai bila ada suatu bingkai atau kerangka berfikir yang disepakati seluruh komponen baik lokal maupun asing. bingkai bersama seperti MHC kelas I yang dimiliki setiap sel dalam tubuh individu sehingga ratusan jenis sel yang berbeda dapat hidup dan bekerja bersama-sama. Saya mengusulkan bingkai ini adalah aqidah islam, kaidah syariah dan muamalah yang diintrodusir dalam masyakarat, di aplikasi pada muslim dan non-muslim sesuai kaidah fiqih akan dapat menjadi kerangka bersama yang menjamin ko-eksistensi. Sepanjang sejarah hanya khilafah islam yang mampu menaungi perbedaan diantara bangsa-bangsa, Islam yang diaplikasikan dari tepian samudra atlantik di barat sampai pulau rempah-rempah di timur dan dari tepian sungai Oxus di Siberia sampai Cape of Good Hope memungkinkan bangsa-bangsa hidup bersama dan dapat mempertahankan keunikan identitas mereka. Peperangan terjadi dalam proses perluasan wilayah dakwah karena adanya perbedaan kerangka berfikir yang dipakai, setelah mengalami integrasi maka bangsa-bangsa menjadi obyek dakwah dan harta serta jiwanya dilindungi dalam bingkai islam. Tanpa islam toleransi adalah konsep kosong tanpa perwujudan fakta
Bandingkan dengan Kekuasaan Roma sebelumnya tidak jauh berbeda yang menawarkan identitas sebagai Roman Citizen sebagai bingkai pemersatu namun kerangka ini tidak mampu menampung harga diri suku-suku Galia dan Germania serta anak-anak Pharaoh sebaliknya mereka dengan mudah menyambut Islam dan dengan Al-Azhar menjadi benteng ilmu islam selama 1000 tahun. Bandingkan pula dengan ekspansi Genghiz yang dengan pasukan berkudanya keluar dari steppa Mongolia menyapu apapun yang berdiri kearah barat dan timur namun akhirnya melebur dalam Islam di Asia barat dan China di timur, karena tidak adanya bingkai yang kuat maka anak cucu Genghiz tercelup dalam peradaban yang lebih matang.
Peradaban barat di era kita saat ini menggunakan platform demokrasi dan kebebasan sebagai bingkai, rule of law menjadi kerangka yang disepakati bersama dalam suatu proses pengambilan kebijakan, standar kebenaran dan moralitas menjadi relatif tergantung suara yang diperoleh. Menyerahkan kebijakan pada massa yang buta meski terkesan adil pada faktanya selalu dikendalikan oleh oligarki entah dinasti keluarga, partai, atau bisnis. Lobi politik yahudi di Amerika selalu berhasil mengendalikan kebijakan luar negeri sekehendak hatinya, tanpa perduli pendapat rakyat yang notabene juga disuapi informasi tak berimbang sehingga bagaikan buta terhadap situasi politik internasional.
Hanya Islam yang dapat menjadi solusi keadilan, Worldview Islam bila dipakai oleh muslim atau non-muslim dapat menjamin ko-eksistensi, memelihara keunikan bangsa-bangsa tanpa ada usaha penyeragaman dan peleburan, sekedar bersedia bernaung dibawah maqashid syariah maka harta dan jiwanya di jamin oleh kaum muslimin. Diantara muslim sendiri bukan tidak ada perbedaan, beda mazhab, suku, guru, sering menjadi alasan konfrontasi ini berarti kaum muslimin sendiri tidak memakai bingkai islam dalam interaksi mereka dengan muslim saudaranya. Bila bercermin pada sistem biologis, mereka ini berarti tidak lagi mampu mengekspresikan penanda islam dalam dirinya, terjadi downregulasi ekspresi gen yang menyebabkan mereka bagai orang asing di komunitasnya dan kerap memusuhi saudaranya sendiri.
Pendidikan dan dakwah adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan profil ekspresi Islam yang tepat pada individu muslim bahkan sejatinya pada setiap mahluk Allah, Islam ada disana di antara rangkaian nukleotida genomnya, induksi dakwah dan hidayah niscaya mampu mengaktifkan gen tersebut sehingga individu tersebut mengalami perubahan fenotip sebagai Muslim dan menggunakan bingkai dan cara pandang islam menghadapi hari-harinya.
wallahualam

Tidak ada komentar: