Hari menjelang sore, hari sabtu lalu, aku sedang santai menunggu azan Ashar berkumandang, lalu pulang dari tugas jaga ku hari itu di Rumah Bersalin Gratis Rumah Zakat Indonesia. Saat asyik melihat-lihat berita terkini di situs RZI, rupanya ada pasien baru. Rastinah dan Rasingkem, dua bersaudara dan ibunya serta bibi dan seorang sepupunya. Dua gadis kecil ini dengan namanya yang unik, melangkah masuk pertama kalinya ke klinik kami, bau matahari menguar dari rambut mereka, bercampur dengan bau keringat, kulit mereka hitam terbakar matahari, dan rambut mereka menguning, mereka sekeluarga adalah pemulung.
daerah operasi mereka sekitar pasar pulogadung, tinggal di suatu tempat di pinggir kali, selama 5 tahun terakhir. mereka tidak sakit terlalu parah, namun salah satunya sudah 2 minggu sakit. demam, batuk dan keluhan yang biasa pada musim seperti ini. yang menarik hatiku adalah keunikan nama mereka, dan rima yang ditimbulkannya, serta bau etnik yang masih kental pada nama tersebut, tak kukira akan bertemu nama seperti itu di belantara jakarta ini.
bincang-bincang dengan mereka perlu kesabaran ekstra, karena mereka banyak menggunakan bahasa daerah yang sepintas seperti bahsa jawa, hanya beberapa kata yang bisa kutangkap, kutanya dari daerah mana mereka berasal, Indramayu jawabnya. jadi itu memang bahasa jawa, meski Indramayu masuk dalam wilayah jawa barat, tapi memang banyak dipengaruhi bahasa jawa meski bahasa sunda masih terdengar, tapi bila dibanding dengan bahasa yang biasa terdengar di Bandung jauh lebih halus.
kutanya karena sudah 5 tahun di jakarta, apa sudah punya KTP jakarta? belum jawab mereka, bukan tidak mau,tapi mahal sekali menurut mereka, sehari mereka cuma dapat kira-kira 20.000 rupiah. KTP Indramayu sih ada katanya, cuma disana mereka tidak punya apa-apa, sawah pun tidak, mereka cuma buruh disana. Indramayu sering disebut-sebut, bila kita berbicara masalah TKI dan traficking, juga wanita penghibur,wisma dll. Jadi mereka ini segmen warga yang lebih tidak beruntung lagi karena mereka menjadi pemulung, tapi disisi lain mungkin mereka malah amat beruntung karena terlepas dari pusaran dosa. if u know what i mean.
mereka hijrah ke Jakarta berharap ada perbaikan dalam kehidupan, jadi teringat pada Fauzi Bowo dan gubernur DKI sesudahnya, kaum urban seperti ini akan selalu menjadi beban mereka, tidak adanya KTP berarti mereka tidak akan mendapat pelayanan kesehatan yang menjadi program pemerintah seperti jamkesmas, sktm dll.
tapi harapanku adalah hidup mereka tidak berakhir disini, akhir seperti ini terlalu sesak namun seperti yang semua orang tau tidak ada yang abadi di dunia,semua pasti berubah, yang abadi hanya perubahan itu sendiri.
2 komentar:
Bagi mereka, Ibukota satu2nya jalan untuk merubah nasib. Jika dianggap sudah cukup, mereka akan kembali lagi ke kampungnya...
Iya Dok, di belakang Yarsi jg banyak yg mengalami nasib serupa..
Malah ada anak umur 6 tahun, masih ngais2 sampah di depan kostan saya sampai pukul 11 malam. Waktu saya tanya, katanya dia dari pagi rombongan sekeluarga mengelilingi seputaran jakarta pusat, kemudian sore harinya berpencar.
Tapi sayangnya, kebanyakan dari mereka sama sekali ga berniat apabila dibiayai untuk bersekolah.
Mungkin mereka mempunyai pemikiran tersendiri ttg hal ini..
Cuman pastinya saya jauh lebih menghargai para pemulung itu Dok dibandingkan yang "tidak mau berusaha sama sekali" =) hehehe
Posting Komentar